Dilihat 0 Kali

02_141_IMG_6759.JPG
Kuliah Tamu dan MoU antara LSF RI dengan ASKOPIS dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jumat, 24 Oktober 2025 17:17:00 WIB

Dilema Layar Lebar: Menjaga Etika di Era Algoritma

Di tengah gempuran konten digital yang bergerak secepat jari, pertanyaan krusial menggelayuti masa depan perfilman dan penyiaran Indonesia: ke mana arah Lembaga Sensor Film (LSF) akan melangkah? Inilah inti perbincangan yang memantik diskusi kritis dalam Kuliah Tamu bertema “Quo Vadis LSF: Antara Idealitas dan Realitas” yang diinisiasi oleh Dr. Mohammad Zamroni, M.Si. Dosen Pengampu Matakuliah di S1-S2 Prodi KPI FDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan sekaligus Ketua Umum DPP. ASKOPIS.

Menurut Zamroni , orientasi kegiatan ini lebih sebagai upaya rekognisi dan pendalaman pemahaman pada substansi perkuliahan matakuliah analisis siaran, manajemen media, teori komunikasi, dan komunikasi politik yang sangat penting di era konvergensi media saat ini.  Sehingga pilihan menghadirkan Komisioner Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) menjadi Dosen Tamu dalam acara Kuliah Tamu ini sangat mendesak.

Selain kuliah tamu, acara ini juga dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara LSF RI dengan ASKOPIS dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai bukti keterlibatan dunia akademik untuk berkontribusi nyata dalam mewujudkan perfilman Indonesia yang maju bermartabat dan terhormat di negeri sendiri". Adapun kegiatan sendiri diselenggarakan pada Jum'at, (24/10) di Teatrikal Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang sukses dengan dihadiri lebih dari 200 peserta.

"Panggung acara kali ini tak hanya menjadi ajang diskusi akademis  namun juga menandai babak baru sinergisitas dan kolaborasi strategis melalui momentum ini", demikian disampaikan Dekan FDK, Prof. Arif Maftuhin dalam sambutannya. Sementara itu Ketua Subkomisi Kerjasama Antar Lembaga LSF RI, Dr. Imam Syafe'i, M.Pd. dalam sambutannya mewakili Ketua LSF RI mengatakan, bahwa penandatanganan ini adalah bentuk kerja sama yang diharapkan menjadi jembatan antara idealitas akademis dan realitas praktik sensor di lapangan.

Dalam materi Kuliah Tamu, Dr. Ervan Ismail, M.Si. Ketua Komisi II LSF RI turut menyentil tantangan ganda yang dihadapi LSF yakni antara lain adalah menjaga marwah undang-undang sambil beradaptasi dengan revolusi industri 4.0. Film, sebagai media komunikasi massa, berperan strategis dalam ketahanan budaya bangsa. "Semua film dan iklan film, baik dari dalam maupun luar negeri, harus diteliti dan dikaji oleh LSF sebelum dipertontonkan ke khalayak publik," tegas Dr. Ervan. Ervan menambahkan merujuk pada UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Ia mengatakan dilema kebebasan berkreasi yang harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, dan moral.

Di sisi lain, ditambahkan Dr. Imam Safe’i, M.Pd., Ketua Subkomisi Bidang Kerja Sama Antarlembaga LSF RI dalam uraian Kuliah Tamu membawa perbincangan pada dimensi idealitas film sebagai sarana edukasi, ekspresi seni, dan hiburan. Ia mengakui adanya jurang lebar: idealnya film adalah alat pembelajaran yang memperkaya batin, namun realitasnya "algoritma komersial mendikte proses kreatif," dan "konten edukatif terpinggirkan, kalah pamor dari film komersial," kata. Dr. Imam. Imam juga menyoroti bagaimana fungsi hiburan bergeser dari refleksi menjadi sekadar distraksi akibat produksi cepat demi viralitas.

Melihat realitas ini, Dr. Ervan menawarkan solusi adaptif LSF, termasuk "Percepatan Mekanisme Sensor Digital" melalui sistem e-SIAS yang holistik dan interaktif, serta "Inovasi Regulasi dan Kriteria Penyensoran Adaptif." Ia menekankan pentingnya fitur seperti Movie Guide dan Parental Lock yang terintegrasi pada perangkat media baru untuk pengawasan tontonan anak. "Edukasi ini penting agar pembuat konten dan publik mampu memproduksi atau mengonsumsi konten yang menghormati budaya dan hukum lokal," pungkasnya.

Dr. Mohammad Zamroni mengungkapkan kerja sama FDK UIN Sunan Kalijaga dan LSF ini diharapkan menjadi wadah bagi dosen perfilman dan mahasiswa untuk melakukan literasi media dan sinema kritis, menjembatani gap antara tuntutan pasar dan tanggung jawab moral. Kehadiran LSF, kampus, dan ASKOPIS dalam satu forum ini menegaskan bahwa masa depan layar Indonesia tak hanya ditentukan oleh sensor, tetapi juga oleh kolaborasi aktif untuk memastikan tontonan juga menjadi tuntunan. (Kh)