Perjalanan minggu ke-30 ini, saya berkunjung jauh ke dalam diri sendiri...lalu mendengarkan suaranya dalam sunyi…ia tidak "bertadarus" seperti minggu-minggu biasanya, kali ini ia berbagi kisah, hadir dengan sajak-sajak kecil yang gugur pelan, seperti daun mengabarkan musim hujan kepada tanah...
Ini adalah syair perjalanan yang telah ia tempuh...
Jiwanya mengendara angin,
menyandar pada kerajaan langit yang sunyi
Dalam secangkir kopi dan dimensi waktu, ia tuliskan sajak-sajak ini... menyerap suara yang pecah dalam deru,
tajam seperti cahaya yang tak menyapa.
Ia sendiri diam,
merenung seperti gunung Merapi di batas cakrawala... menatap awan yang tergesa pulang...
Lalu, suasana meredup menyambut magrib
Pandangannya perlahan menajam,
dan orang-orang berlalu lalang, di atas angin,
sejenak saja,
sebelum hilang...
Ia bertanya... Apa gerangan semua ini?
Siapa yang mengguncang langit dalam diriku?
Siapa yang memukul naluriku seperti tongkat Musa?, membelah pengetahuan... ia berharap Haidir membantu jawab
Di bawah sana...ada daratan dan air yang melimpah,
ada segelas kejernihan
yang meneduhkan tangis dunia
Kota dan manusia bergegas.
Wajah-wajah menyeruak dari bayang, diantara gedung fakultas,
menyelinap dalam bising,
menghindari tatapan langit...
Gedung-gedung tinggi,
bebatuan bisu yang tak pernah tersenyum meski warnanya baru dipulihkan...
berdiri angkuh di samping mesin waktu yang menggertak pagi dengan absen kehadiran
Di kaki mereka ...
langkah-langkah yang lelah,
tetap berjalan.
Namun, di sini...
di antara secangkir kopi dan seberkah makanan,
digelar kebahagiaan kecil yang tulus...
Sahabat-sahabat inklusif duduk, pada kursi-kursi yang sandarannya
adalah KENANGAN .
Cara kami bersahabat
adalah DOA yang tak BERSUARA ...
di sini, berjumpa kawan lama, adalah... sebuah pengalaman spiritual, seperti es batu retak perlahan dalam segelas teh, menjadi aliran sungai yang jujur... menghapus dahaga
Senyuman lama bermekaran, seperti bunga yang menari di ujung fajar,
merekah di pelataran hari ini...
Obrolan masa lalu
berubah jadi tawa,
berderai seperti embun
yang jatuh ke bumi dengan lembut...
Saat ini... di titik Pusat Layanan Difabel, kami duduk bersama, kami menyulam kebahagiaan,
dengan benang yang bernama... BERBAGI ...
...ini semua jadi manifesto jiwa, saat tiba tiba ia terpanggil untuk menuliskannya pada secarik kertas yang telah lama ia tinggalkan ... untuk sebuah tugas, dalam perjalanan spiritual sebagai Koordinator Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga
Ia menuliskan sepucuk kenangan untuk 30 minggu perjalanan... "Empowering Knowledge, Shaping the Future"
Oleh :Dr. Asep Jahidin, S.Ag., M.Si Dosen Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial,
Koordinator Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga