Sahabat inklusif yang dimuliakan...
Pada sepotong waktu, seorang kakek bermimpi... Dalam mimpi itu, sang kakek bertemu cucunya, lalu mereka pun bermain, bercanda ria sampai ketiduran. Di dalam mimpi ketiduran itu sang kakek ternyata bermimpi lagi jadi capung... Tiba-tiba dia terbangun dari tidurnya... Sekarang dia menjadi bingung, “APAKAH SAYA INI KAKEK ataukah seekor CAPUNG yang sedang BERMIMPI JADI KAKEK?"... ( jika nyaris ikut linglung, "barangkali secangkir kopi bisa membantu", bisik sebuah suara, entah kepada siapa)... Kisah ini bisa benar, atau mungkin hanya fiksi. Anggap saja sang kakek hanyalah metafora mewakili dunia kita
Yang jelas, kisah sang kakek memberikan petunjuk kompas... bahwa di tengah beragam peran yang dijalani seseorang, baik peran struktural maupun peran sosial, bahkan peran politik kadang seseorang bisa terperangkap bingung sendiri... "Apakah saya ini kakek atau capung?"... "Siapakah diri ini?", lalu dalam kapasitas apa seseorang itu ketika bersikap atau saat sedang mengambil keputusan... Dia bisa lupa, dia goyah mengenai siapa dirinya, merasa tidak yakin sedang menjadi siapa... Saat situasi seperti itulah, sebenarnya dia rindu ada seseorang yang menyapa nya... "KANGEN DISAPA" Setiap orang akan tiba gilirannya merasakan berada di titik itu: merasa gamang sedang menjadi siapa dia. Apakah sedang jadi pekerja? teman? pemimpin? atau justru hanya sedang sandiwara?... jiwa merindukan sapaan
Di PLD Kami berupaya mengembangkan kebiasaan saling menyapa dengan menyebut perannya, sebagai cara sederhana tapi bermakna untuk mengingatkan dan merawat eksistensi satu sama lain “Selamat pagi, Kak Koordinator.” “Terima kasih, Mas Fasilitator.” “Sampai jumpa, mbak relawan.” "hai sahabat inklusi"… Atau cukup dengan: "Halo, teman difabel hebat!" Sapaan ini bukan sekadar formalitas. Ia adalah pengingat halus, bahwa kita sedang menjalani peran…dan lebih dari itu, kita diakui dalam peran itu. Sapaan adalah kompas kecil. Ia tidak memberitahu arah, tapi mengingatkan bahwa kita masih ada di perjalanan…
Tiba tiba, suara itu kembali lagi dan berbisik: "Karena itu sapaan dari orang lain adalah penting, setidaknya untuk sekedar mengingatkan siapa kita, atau lebih dari itu untuk merawat eksistensi kita sebagai seseorang"... PERSOALANNYA, apakah ada orang yang mau menyapa kita?... ITU BUKAN PERTANYAAN KE LUAR, itu adalah pertanyaan yang justru jawabannya ada di dalam karakter diri setiap individu kita...
Ada yang harus kita ingat, bahwa setiap orang bisa berganti peran dalam perjalanan waktu… Apa yang kita anggap nyata bisa saja hanya bagian dari mimpi yang lebih besar.
Mari Kita perdalam sedikit saja... Batas antara kenyataan dan ilusi sangat tipis. "Dunia ini panggung sandiwara", begitu kata "penyanyi balada", om Achmad Albar ... dan Al Qur'an malah menaikkan lagi satu derajat, dunia ini, pada level yang lebih lembut yaitu: " Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau". (Lihat dalam Al-An’am: 32)... Jadi, kira-kira begini... Biarkan sapaan sederhana menggema di PLD atau di manapun, menjadi cahaya kecil yang menuntun kita pulang ke diri, semoga ia jadi pelita jalan setapak bagi jiwa yang sedang mencari rumah eksistensialnya. kita saling menyapa, menguatkan satu sama lain… Jika anda terpanggil, bergabunglah dalam perjalanan dan sapaan kami di sini... di UIN Sunan Kalijaga: "Empowering Knowledge, Shaping the Future"
Oleh :Dr. Asep Jahidin, S.Ag., M.Si Dosen Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial,
Koordinator Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga