Mentadaruskan Difabel
Pada selembar ruang dan waktu tertulis kalimat...25 Minggu sudah perjalanan mentadaruskan beragam realitas bersama di sini..., ditulis sebagai refleksi rasa syukur atas segala apapun di Pusat Layanan Difabel setiap minggunya...Kadang dipuisikan juga kesunyian hati para kekasih Tuhan itu dalam Senyuman Naratif "Nun, walqolami wa maa yasturuun"...Demi pena dan apa yang digoreskannya dalam tulisan...
Tulisan adalah keberadaan sesungguhnya seorang dosen sebagai ilmuwan, apapun produk tulisannya. Menulis adalah jalan ninja seorang akademisi dari level Sudra kelas Proletar hingga level Guru Besar...
...Saya menulis untuk menandai jejak sejarah... Meskipun, terkadang beberapa pandangan seperti "terjebak" hanya pada bentuk tulisannya..., seolah jika sebuah tulisan tidak dituangkan, atau dikonversi ke dalam bentuk buku, manuskrip, maupun Jurnal Ilmiah "bermahkota Scopus" atau "bergaun Sinta" ... Maka, dia belum layak "disahkan" sebagai sebuah karya akademik. Ya, tentu pendapat tersebut memiliki dasar kebenarannya dalam ruang regulasi akademik...Misalnya syarat "Kualifikasi karya ilmiah" untuk naik pangkat...Silahkan tempuh bentuk tulisan yang manapun, semua pilihan Itu tidak menjadi penghalang. Apapun Misi nya, yang terpenting adalah teruslah MENULISKANNYA meski hanya dalam sebait puisi atau segores bismillah...
Pada tadarus di minggu ke-26 ini, saya telah mengambil Percik Permenungan...Menyelam di arena yang "agak lebih dalam", atau mungkin saja..."lebih filosofis". Nyemplung di wilayah yang multi tafsir dan bernuansa, penuh teka teki, kadang samar-samar mengandung paradoks... tetapi sangat mungkin lebih mengakar dalam melihat substansi Realitas Dunia Inklusif di Kampus...
APAKAH KITA SEORANG DIFABEL ataukah BUKAN, adalah sama saja...(Berdasarkan data pengalaman kami di PLD, analisis kajian akademis maupun berbagai aktivitas riset lapangan yang kami lakukan)... Ternyata yang menentukan nya adalah, di lingkungan yang seperti apa keberadaan kita ini diberi makna...
Jika Kita Seorang Difabel, hidup kita bukanlah halaman jurnal yang ditulis oleh kita sendirian...Setiap kalimat dalam paragraf nya, bahkan setiap diksi pilihan kata nya, dipengaruhi oleh orang lain, oleh teman kita, lingkungan, kolega kerja, keluarga, rekan diskusi dan orang-orang yang pernah mampir di halaman rumah pikiran kita... Namun, Jika Kita Bukan Seorang Difabel, adalah SAMA SAJA...ternyata tidak beda... Hehehe, sami mawon, sarua, pada bae, alias itu semua adalah realitas yang terlihat beragam tapi sebenarnya tunggal dalam satu rasa
Kondisi difabel seseorang sangat diwarnai oleh lingkungan sekitar nya... Cara pandang sebuah masyarakat terhadap difabel akan memperlihatkan bayangan dirinya nya pada cermin inklusif, sebagai pantulan seberapa tinggi wajah peradaban sebuah masyarakat itu menampilkan kecantikan dirinya pada cermin tersebut...atau malah sebaliknya, menampilkan seberapa menindas peradaban tersebut terhadap dirinya sendiri...
Setiap kali ada orang yang ditinggalkan oleh peradaban, sesungguhnya peradaban itu telah menurunkan kualitasnya sendiri...PERADABAN SEJATI adalah peradaban yang merangkul semua orang tanpa meninggalkan seorangpun di belakang...
UIN Sunan Kalijaga, di mana terdapat 84 mahasiswa dengan beragam difabel di berbagai Prodi yang mereka pilih (baca Tadarus Difabel minggu ke-2) atau entitas masyarakat lainnya di manapun, adalah cermin inklusif itu, dia adalah ruang kehidupan di mana pemaknaan inklusif tersebut diuji, ditadaruskan oleh waktu, dirayakan oleh peradaban luhur...mungkin dic@ci m@ki oleh kegelapan...tetapi ditatap oleh cahaya, diterangi oleh perayaan rasa syukur pada setiap pencapaian terkecil sekalipun, bagi kepentingan pengembangan semua individu...Tanpa meninggalkan seorangpun di belakang...
Dalam peradaban masyarakat yang ideal, sesungguhnya difabel itu tidak ada, karena dalam peradaban tersebut, difabel tidak lagi dimaknai sebagai perkara atau kondisi yang dialami oleh seseorang secara individu, baik fisik, sensorik, mental maupun intelektual nya, tetapi bagaimana lingkungan peradaban melihat dan memaknai kondisi tersebut sebagai kondisi bersama, sebagai bagian tak terpisahkan dari tubuh sosial sebuah masyarakat yang utuh...
Jauh melampaui diskursus Filosofis Sosiologis di atas tersebut..., dalam cara pandang Spiritual, ...diyakini bahwa setiap individu, anggota masyarakat, pada waktunya akan mengalami sesuatu kondisi "difabel"..., saat setiap orang tiba pada giliran waktu nya, di mana dia membutuhkan akses, peran dari orang lain untuk menyapa dengan hormat segala kebutuhannya,... untuk mengantar nya hingga ke tempat peristirahatan terakhir...innalillahi wainnailaihi rojiun...
Akan tetapi selama kita belum berjumpa dengan hari akhir kehidupan tersebut, selama itu juga, secara Spiritual psikologis, Budi pekerti sosiologis, bahkan secara Filosofis aksiologis..., kita akan berproses menjalani masyarakat yang inklusif sebagai cita-cita luhur membangun makna bersama di kehidupan dunia ini...Jika anda terpanggil oleh gagasan ini... Bergabunglah dalam pengalaman dan perjalanan kami, di UIN Sunan Kalijaga : "Empowering Knowledge, Shaping the Future"
Oleh :Dr. Asep Jahidin, S.Ag., M.SiDosen Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial,
Koordinator Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga